Rasulullah tentang Musyawarah dalam Memilih Pemimpin
Nabi Muhammad merupakan seorang pemimpin yang mengedepankan musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Meskipun Rasulullah sendiri sadar bahwa dirinya memiliki otoritas penuh dan para sahabatnya pun tentu sudah pasti mengikutinya. Walau begitu, prinsip musyawarah tetap dipegangnya. Karena hal itulah yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an. Dalam aspek pergantian kekuasaan, sejarah mencatat bahwa sebelum wafat, Rasulullah SAW tidak menunjuk siapa yang akan menggantikannya dalam kedudukan sebagai kepala negara.
Namun, Rasulullah meninggalkan wasiat agar kaum mukmin untuk tetap berpegang pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara substansial. Di mana di dalam dua sumber utama umat Islam tersebut tradisi musyawarah (syura) diakui dan mendapat keutamaan tersendiri. Dari petunjuk tersebut, sistem pemilihan dan pergantian khalifah didasarkan pada musyawarah atau kesepakatan umat, bukan semata-mata pertimbangan penunjukkan atau garis keturunan keluarga tertentu. Namun, pengelolaan negara dalam perspektif pergantian kekuasaan mengelami perkembangan sistem pemerintahan. Sehingga ada yang berbentuk dinasti, kerajaan (mamlakah), republik (syura), dan lain-lain.
Pasca Nabi Muhammad wafat, prinsip musyawarah dalam pemilihan kepala negara telah berjalan dengan baik. Hal ini karena kaum Muslimin sudah terbiasa menerapkan prinsip ukhuwah Islamiyah, berupaya mengedepankan kesepakatan bersama (musawah) dan menerapkan hasil musyawarah dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang telah berjalan sejak era kenabian. Sebab itu di era khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) mekanisme musyawarah beragam dan mengalami perkembangan sesuai tantangan yang ada saat itu. Perdebatan yang terjadi di dalamnya merupakan hal yang biasa. Namun pada akhirnya para musyawirin dapat mengatasi setiap perbedaan secara baik dan bijak. Khamami Zada (2018) mengutip Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa Al-Nihayat mengungkapkan bahwa terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah melalui pemilihan dan di dalamnya terdapat proses-proses yang terbuka.
Proses tersebut dimulai dengan perdebatan sengit antara kaum Anshar dan Muhajirin. Namun akhirnya secara aklamasi terpilihlah Abu Bakar. Hal ini merupakan praktik musyawarah mufakat. Abu Bakar saat itu mendapat gelar Khalifatur Rasul (pengganti Rasulullah). Dalam sistem pemerintahan modern, seperti contoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), musyawarah yang disepakati dalam memilih pemimpin ialah melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu) secara langsung.
Sebelumnya, Indonesia mengangkat pemimpin atau presiden melalui proses di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000) menjelaskan, kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun.
Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerja samanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi Muhammad SAW menyamakan seorang mukmin dengan lebah. Tentang prinsip musyawarah, Al-Qur’an mengajarkan, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imran [3]: 156) Menurut Quraish Shihab (200), ayat ini dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Dari ayat Surat Ali ‘Imran di atas bisa digarisbawahi tentang lemah lembut, bersikap kasar dan berhati keras serta saling memaafkan. Hal itu merupakan poin-poin penting dalam bermusyawarah, termasuk dalam memilih pemimpin dalam proses pemilihan umum seperti di Indonesia. Hendaknya sikap lemah lembut, tidak kasar dan tidak keras hati serta saling memaafkan menjadi fondasi kokoh dalam mempererat tali persaudaraan warga sebangsa dan setanah air.
Setiap pemilihan pemimpin memang kerap terjadi polarisasi konflik di tengah masyarakat yang cukup memeras urat. Apalagi saat ini ruang perdebatan disajikan secara luas di media sosial. Gambaran kasar dan keras hati dapat ditemukan dengan mudah lewat percakapan di media sosial terkait pemilihan pemimpian. Sebab itu, dalam ruang yang cukup luas dan bebas di media sosial, masyarakat wajib memegang prinsip-prinsip musyawarah yang diajarkan Al-Qur’an sehingga pengetahuan dan wawasannya juga luas. Tidak mudah terpengaruh dan termakan informasi-informasi bohong yang berpotensi memecah belah umat. Adapun pemimpin yang terpilih, dialah pemimpin seluruh warga negara, bukan lagi pemimpin dari golongan tertentu.